Bayangkan menulis tanpa tangan. Menggerakkan kursor tanpa jari. Mengeja nama Anda setelah 20 tahun hanya dengan berpikir. Bagi Audrey Crews, ini bukan adegan dari Black Mirror—ini kenyataan.
Dengan senyum lebar dan mata berbinar, perempuan Amerika itu mengetik di layar: “Just a normal day using telepathy.” Unggahan sederhana di akun X-nya itu mengguncang dunia. Audrey, yang lumpuh total selama dua dekade ini, baru saja menjadi manusia pertama yang menulis dengan pikiran—berkat chip Neuralink di otaknya.
Daftar Isi
Audrey Crews: “Patient P9” dan Kisah di Balik Lubang di Tengkoraknya
Audrey bukan sekadar pasien. Ia pionir. Subjek uji klinis Neuralink PRIME yang dijuluki Patient P9 ini menjalani prosedur invasif di University of Miami Health Centre: sebuah lubang dibor di tengkoraknya, lalu 128 benang fleksibel berisi 1.024 elektroda ditancapkan ke korteks motoriknya.
Ya! Chips seukuran koin 25 sen itu menerjemahkan impuls sarafnya menjadi perintah digital.
Hasilnya? Kursor bergerak, huruf-huruf terangkai, dan untuk pertama kali sejak 1995, “Audrey” tertulis di layar oleh tangannya sendiri—walau tanpa gerakan fisik.
Melansir dari kompas.com, Elon Musk, pendiri Neuralink, berkomentar singkat: “Dia mengendalikan komputer sepenuhnya dengan pikirannya.”
Cara Kerja “Telepati” Neuralink Bekerja
Neuralink bukan satu-satunya Brain-Computer Interface (BCI) di dunia, tapi mungkin yang paling ambisius. Sistemnya terdiri dari:
- Cip N1: Terhubung ke neuron via elektroda ultra-tipis.
- Algoritma AI: Menerjemahkan pola otak menjadi perintah.
- Aplikasi: Memungkinkan mengetik, menggambar, bahkan bermain game.
“Ini seperti belajar bahasa baru,” jelas Audrey. “Awalnya saya harus fokus keras untuk memilih huruf ‘A’. Sekarang, otak saya sudah otomatis mengenalinya seperti mengetik biasa.”
Tapi ada batasannya: Neuralink belum bisa mengembalikan gerakan fisik. “Ini hanya untuk telepati digital,” tegasnya.
Baca Juga: Sahdan Arya Maulana, Ketua RT Gen Z yang Fenomenal!
Audrey Crews dan Peserta Uji Implan Otak Lainnya
Audrey bukan satu-satunya sukarelawan. Nick Wray (Patient P8), penderita ALS, merasakan hal serupa. “Saya belum merasakan otonomi digital seperti ini selama bertahun-tahun,” tulisnya.
Bagi Nick, teknologi ini lebih dari sekadar alat, ia adalah pintu menuju kemandirian. Ia bahkan bercanda: “Jika ALS adalah harga untuk mencoba ini, saya rela.”
Tiga hari setelah chip Telepati N1 miliknya resmi diaktifkan, Wray mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama bertahun-tahun—kendali atas tubuhnya. Bukan kendali yang utuh, memang.
Tapi sensasi bahwa dirinya bisa mengirim sinyal, memicu gerakan, dan berkomunikasi secara digital dengan cara yang dulu mustahil, sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa hidup kembali.
Rasa putus asa yang selama ini membungkus hari-harinya mulai tergantikan oleh optimisme baru.
Wray, yang sebelumnya bergantung total pada alat bantu dan perawatan intensif karena kelumpuhan, kini mampu membayangkan masa depan yang lebih mandiri. Ia tidak hanya menjadi subjek uji coba; ia adalah bagian dari sejarah teknologi yang sedang ditulis.
Dalam keterbatasannya, Wray tetap menyampaikan niat untuk terlibat aktif: ia ingin memberi masukan kepada tim pengembang tentang performa chip, kenyamanan pengguna, serta kemungkinan efek jangka panjangnya.
Harapannya sederhana namun besar: agar chip seperti Telepati N1 bisa menjadi jembatan bagi lebih banyak orang dengan kondisi serupa untuk kembali terhubung dengan dunia secara utuh.
Lihat postingan ini di Instagram
Di Balik Ambisi Neuralink: Regulasi dan Risiko
Ya! meskipun projek ini terbilang berhasil untuk waktu sekarang, nyatanya melansir https://infografis.sindonews.com/ Elon Musk begitu vokal sejak 2019 soal ambisinya menghubungkan otak manusia dengan komputer lewat Neuralink, jalan menuju realisasi ternyata tidak semulus yang dibayangkan.
Pada 2022, Neuralink baru secara resmi mengajukan izin uji coba manusia ke Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA). Namun, pengajuan tersebut tak serta-merta mendapat lampu hijau.
Berdasarkan laporan dari Reuters dan kesaksian tujuh karyawan perusahaan, FDA mengidentifikasi lebih dari satu lusin persoalan serius yang harus ditangani terlebih dahulu oleh Neuralink.
Kekhawatiran terbesar berasal dari sisi keamanan, terutama potensi kabel dari chip otak yang bisa berpindah posisi di dalam otak, risiko chip yang terlalu panas, hingga kemungkinan kerusakan jaringan otak saat implan ditanam maupun ketika hendak diangkat kembali.
Masalah teknis ini bukan sekadar kendala teknologis, tapi juga menyentuh batas etika dan medis yang sangat sensitif. FDA, sebagai otoritas regulator, mengisyaratkan bahwa keamanan subjek uji manusia adalah prioritas utama yang tidak bisa dinegosiasikan, meskipun datang dari nama besar seperti Elon Musk.
Pihak Neuralink sendiri belum memberikan komentar resmi atas temuan ini. Namun, yang jelas, ambisi menciptakan simbiosis manusia-mesin harus terlebih dahulu menaklukkan tantangan nyata: memastikan bahwa apa yang mereka tanam bukan hanya secanggih mimpi, tetapi juga seaman harapan.
Masa Depan atau Kontroversi? Dilema Etika di Balik Antarmuka Otak-Komputer
Neuralink membawa harapan, tapi juga pertanyaan:
-
Privasi pikiran: Bisakah data otak diretas?
-
Kesenjangan teknologi: Akankah hanya orang kaya yang mampu?
-
Risiko medis: Infeksi, kerusakan jaringan otak, atau efek jangka panjang?
Audrey mengakui: “Ini baru babak pertama. Tapi jika hari ini saya bisa menulis, besok mungkin ada yang bisa berjalan.”
Baca Juga: Manchester United Incar Javi Guerra, Persaingan Panas di Bursa Transfer
Epilog: Ketika Manusia Menjadi “Cyborg” dan Batas Tubuh Tak Lagi Menghalangi
Kisah Audrey Crews bukan sekadar potret kemajuan teknologi, ia adalah cerminan paling jujur dari hasrat manusia untuk menembus batas, menolak tunduk pada takdir, dan mengubah ketidakmungkinan menjadi kenyataan.
Di balik tubuhnya yang selama dua dekade lumpuh total, tersembunyi semangat yang tak pernah padam. Ia tidak pernah menyerah untuk tetap menjadi manusia utuh yang bisa berpikir, merasa, dan sekarang, bertindak, melalui kekuatan pikirannya sendiri.
Hari ini, dengan chip canggih tertanam di otaknya, Audrey telah melangkah ke wilayah yang dulu hanya hidup dalam imajinasi ilmuwan dan penulis fiksi ilmiah. Ia bisa mengetik dengan pikirannya, menggambar simbol cinta, bahkan menyatakan identitasnya dengan penuh keyakinan:
“Saya perempuan pertama di dunia yang melakukan ini.”
Kalimat itu menggema bukan sebagai klaim ego, melainkan sebagai tonggak sejarah. Ia adalah pionir, pembuka jalan bagi generasi baru yang mungkin suatu hari tidak lagi mengenal batas antara pikiran dan teknologi, antara manusia dan mesin.
Dan kita yang menyaksikannya, hanya bisa terdiam sejenak—terpukau, terinspirasi, dan terus bertanya dalam hati:
Jika hari ini seorang perempuan bisa mengetik hanya dengan niat dalam benaknya, maka esok, batas apa lagi yang akan kita taklukkan?
Dunia berubah, bukan hanya oleh teknologi, tapi oleh mereka yang berani menggunakannya untuk melampaui batas dirinya sendiri.
toprankmedia.id selalu hadir memberikan berita VIRAL, informasi terupdate, dan ulasan terpercaya seputar TOP 10 Brand yang relevan dengan kehidupan Anda. Ikuti selalu update terbaru dari kami, karena kami hadir untuk membuat Anda selalu #UpToDate.






