Di tengah gegap gempita menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-80, dunia perfilman tanah air kedatangan satu karya animasi yang niatnya ingin memberi warna: Merah Putih One For All. Dirilis di bioskop pada 14 Agustus 2025, film ini awalnya diharapkan menjadi persembahan kreatif bertema kebangsaan. Namun alih-alih menuai tepuk tangan, yang datang justru badai kritik — mulai dari kualitas visual, cerita, hingga tudingan serius soal pendanaan. Di pusat pusaran itu, ada satu nama yang belakangan ramai dibicarakan: Toto Soegriwo. Pria ini adalah produser di balik film tersebut, sekaligus sosok lama di dunia perfilman Indonesia yang rekam jejaknya tak bisa dianggap enteng.
Daftar Isi
Karier Panjang di Dunia Film
Bagi yang baru mendengar namanya, Toto Soegriwo bukanlah pendatang baru. Ia memulai kariernya dari belakang layar, tepatnya di rumah produksi PT Djohar Mandiri Jaya. Lulusan SMA Negeri 1 Purwodadi ini kemudian aktif di Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan sempat merasakan dunia media lewat posisinya sebagai penyiar di Radio S1079FM.
Perjalanan Toto semakin dalam saat ia menjadi Sekretaris Redaksi Majalah DeFilm, sebuah media yang khusus membahas isu-isu perfilman nasional.
Dari situ, ia merambah berbagai peran strategis: bergabung di Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, aktif di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) — lembaga yang memegang peran penting dalam pelestarian sejarah film Indonesia — hingga menjabat Creative Director PT Foromoko Matoa Indah Film.
Kini, Toto memegang posisi Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) dan menjadi kurator di platform streaming Lokalfilm.id. Di luar itu, ia membawahi sejumlah perusahaan di sektor hiburan, seperti PT Cycloop Entertainment Studio, PT Edar Nuansa Cinema, PT Foromoko Matoa Indah Film, hingga PT Naura Syifa Production.
Baca Juga: Kontroversi Film Merah Putih: One For All, dari Trailer hingga Sosok Produsernya
Kiprah di Balik dan di Depan Kamera
Bicara karya, Toto tak hanya duduk di kursi produser. Ia pernah terlibat dalam berbagai genre, dari horor (Basement: Jangan Turun ke Bawah, Pocong Merah), thriller (Lantai 4), hingga drama misteri (Selasih Ireng). Bahkan, ia juga pernah terjun langsung sebagai aktor dalam beberapa film seperti Surga Adalah Maut.
Kemampuannya berpindah peran antara kreator, produser, dan aktor menjadi bukti bahwa Toto paham betul ritme industri hiburan. Karena itu, saat ia mengumumkan Merah Putih One For All sebagai proyek terbarunya, banyak yang berharap ini akan menjadi gebrakan segar di dunia animasi lokal.
Kontroversi “Merah Putih One For All”
Namun, kenyataan berbicara lain. Sejak trailer dan posternya dirilis, warganet mulai ramai mengkritik. Ada yang menganggap visualnya belum layak untuk layar lebar, ada pula yang menyoroti detail aneh seperti burung kakatua bersuara monyet, hingga keberadaan senjata api M4 di gudang desa.
Komentar pedas pun membanjiri media sosial: ada yang menyebut karakter-karakternya “menyeramkan mirip anomali brainrot”, ada pula yang menilai tampilannya seperti “cover CD bajakan era SD”. Perbandingan pun tak terhindarkan, terutama karena film ini rilis bersamaan dengan animasi sukses Jumbo dan anime fenomenal Demon Slayer: Infinity Castle.
Situasi makin panas ketika muncul kabar bahwa film ini dibuat dengan dana Rp6,7 miliar dari pemerintah. Isu ini memicu tudingan korupsi terhadap Toto dan timnya.
Klarifikasi dan Pembelaan Toto Soegriwo
Menanggapi tudingan tersebut, Toto angkat bicara. Ia menegaskan tidak ada dana pemerintah yang mengalir ke proyek ini. Angka Rp6,7 miliar yang beredar, kata Toto, sama sekali tidak berasal dari APBN. Pernyataan ini juga selaras dengan klarifikasi Wakil Menteri Ekraf Irene Umar, yang menyebut pemerintah hanya memberi masukan kreatif terkait cerita dan visual, tanpa menyentuh sisi pendanaan.
Toto bahkan mengungkap bahwa proses produksi Merah Putih One For All berlangsung super singkat: kurang dari satu bulan sejak Juni 2025. Hal ini membuat banyak pihak terkejut, mengingat produksi animasi umumnya memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Antara Ambisi dan Realita
Jika melihat niat awalnya, Merah Putih One For All ingin menjadi film animasi kebangsaan pertama yang menonjolkan semangat persatuan. Didukung oleh Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail dan diproduksi oleh Perfiki Kreasindo sebagai karya debut, film ini sebenarnya punya potensi menjadi momentum.
Namun, eksekusi yang terburu-buru, ekspektasi publik yang tinggi, serta atmosfer persaingan dengan film animasi internasional membuatnya terjebak di persimpangan sulit.
Toto Soegriwo kini berada dalam posisi di mana ia harus menghadapi kritik tajam sekaligus mempertahankan reputasinya di industri yang telah ia geluti selama puluhan tahun.
Apa Selanjutnya untuk Toto?
Terlepas dari pro dan kontra, Toto tetaplah sosok berpengalaman yang punya jaringan kuat di perfilman Indonesia. Dengan proyek-proyek lain yang sedang ia siapkan — salah satunya film Ala Alladin — Toto tampaknya belum selesai menorehkan jejaknya.
Bagi sebagian orang, Merah Putih One For All mungkin akan diingat sebagai kontroversi. Namun, bagi Toto, ini bisa jadi pelajaran mahal tentang keseimbangan antara ambisi, kualitas, dan ekspektasi penonton. Bagaimanapun, di dunia kreatif, satu karya bisa jatuh, tapi nama yang gigih biasanya selalu punya kesempatan untuk bangkit lagi.
toprankmedia.id selalu hadir memberikan berita VIRAL, informasi terupdate, dan ulasan terpercaya seputar TOP 10 Brand yang relevan dengan kehidupan Anda. Ikuti selalu update terbaru dari kami, karena kami hadir untuk membuat Anda selalu #UpToDate.