Belanja yang seharusnya menjadi aktivitas untuk memenuhi kebutuhan, kini berubah menjadi alat pelarian yang berdampak buruk bagi kondisi finansial. Namun, apa sebenarnya yang memicu perilaku doom spending ini? Mengapa Gen Z, yang dikenal cerdas dalam memanfaatkan teknologi, justru rentan terhadap masalah ini?
Daftar Isi
Apa Itu Doom Spending?
Doom spending adalah kebiasaan belanja berlebihan atau impulsif yang dilakukan seseorang sebagai bentuk pelampiasan emosi negatif. Istilah “doom” mengacu pada perasaan tertekan, takut, atau cemas akan situasi tertentu, seperti ketidakpastian masa depan, krisis ekonomi, atau bahkan masalah pribadi. Pada akhirnya, individu memilih berbelanja untuk mencari “pelarian” sementara dari perasaan tersebut.
Pada generasi sebelumnya, perilaku ini mungkin dikenal dengan istilah retail therapy atau terapi belanja. Namun, doom spending lebih bersifat destruktif karena sering kali tidak mempertimbangkan kebutuhan nyata dan berpotensi merugikan finansial dalam jangka panjang.
Gen Z dan Milenial yang terjebak dalam fenomena “Doom Spending” cenderung merasa tidak berguna menabung karena percaya bahwa tabungan tidak pasti mencapai tujuan keuangan mereka. Mereka lebih memilih untuk hidup sekarang dan menghabiskan uang daripada menyimpannya.
Namun, apa penyebab utamanya? Salah satu jawaban adalah stres. Menggunakan uang untuk traveling atau makan lezat membuat mereka merasa stress-nya berkurang.
Baca Juga: 6 Investasi yang Paling Menguntungkan, Berani Coba?
Mengapa Gen Z Rentan Terhadap Doom Spending?
Generasi Z, yang lahir pada era digital, memiliki akses yang sangat mudah terhadap platform belanja online dan aplikasi e-commerce. Dalam hitungan detik, mereka bisa membeli apa saja hanya dengan beberapa klik.
Menurut Tim Toprank Media, Faktor-faktor berikut turut memperbesar peluang Gen Z untuk terjebak dalam doom spending, diantaranya:
1. Doom Spending: Pengaruh Media Sosial
Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube memainkan peran besar dalam memengaruhi kebiasaan belanja Gen Z. Influencer dan selebriti kerap mempromosikan produk-produk dengan gaya hidup mewah yang membuat banyak orang merasa “terdesak” untuk ikut memiliki barang-barang tersebut. Ditambah dengan fitur belanja langsung yang ada di media sosial, impuls untuk membeli sesuatu semakin sulit dibendung.
2. Kemudahan Akses ke Kredit Digital
Dengan banyaknya platform yang menawarkan opsi pembayaran “beli sekarang, bayar nanti”, Gen Z lebih mudah tergoda untuk membeli barang meskipun tidak memiliki dana yang cukup. Kemudahan kredit digital ini memberikan kesan bahwa berbelanja secara terus-menerus tidak akan memberikan dampak besar, padahal utang bisa menumpuk tanpa disadari.
3. Tekanan Mental dan Kecemasan Masa Depan
Generasi Z hidup dalam era ketidakpastian, mulai dari masalah perubahan iklim, krisis ekonomi, hingga tantangan karir yang semakin kompetitif. Tekanan ini menyebabkan banyak dari mereka mencari pelampiasan melalui konsumsi barang atau pengalaman. Dalam kondisi tersebut, belanja impulsif terasa seperti solusi instan untuk meredakan kecemasan, meskipun dampaknya hanya sementara.
4. Budaya FOMO (Fear of Missing Out)
Rasa takut ketinggalan tren atau momen sering kali mendorong Gen Z untuk mengikuti gaya hidup yang konsumtif. Ketika melihat teman atau figur publik memiliki barang-barang baru, mereka merasa perlu untuk melakukan hal yang sama agar tidak “ketinggalan zaman.” Fenomena FOMO ini memperkuat dorongan untuk terus berbelanja, meskipun barang yang dibeli tidak benar-benar dibutuhkan.
Dampak Negatif Doom Spending
Meski terasa menyenangkan di awal, doom spending memiliki banyak dampak negatif yang dapat merusak stabilitas finansial dan emosional. Beberapa di antaranya adalah:
1. Utang yang Menumpuk
Salah satu dampak paling nyata dari kebiasaan belanja impulsif adalah utang yang semakin bertambah. Pembelian barang-barang yang tidak direncanakan atau tidak dibutuhkan, terutama dengan menggunakan kredit, dapat memicu utang konsumtif yang sulit dilunasi.
2. Perasaan Bersalah dan Penyesalan
Setelah kesenangan sesaat yang didapat dari belanja, sering kali muncul perasaan bersalah dan menyesal karena telah menghabiskan uang untuk hal yang tidak penting. Penyesalan ini bisa memperburuk kondisi mental seseorang, yang pada akhirnya memicu lingkaran setan di mana mereka kembali belanja untuk meredakan stres.
3. Mengganggu Rencana Keuangan Jangka Panjang
Ketika terlalu sering melakukan belanja impulsif, sulit bagi seseorang untuk mengatur keuangan secara efektif. Tabungan untuk masa depan bisa terkuras, dan rencana keuangan jangka panjang, seperti membeli rumah atau berinvestasi, menjadi terganggu.
4. Kesehatan Mental yang Terganggu
Doom spending tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga pada persoalan isu mental health. Kebiasaan belanja sebagai pelarian dari kecemasan justru bisa memperparah stres dan ketidakpuasan, sehingga menciptakan siklus yang sulit diputus.
Baca Juga: 10 Aplikasi Penghasil Uang Resmi dari Pemerintah
Lalu, Bagaimana Cara Mengatasi Doom Spending?
Jika Anda merasa mulai terjebak dalam kebiasaan doom spending, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasinya:
1. Kenali Pemicu Emosi
Langkah pertama untuk mengatasi doom spending adalah menyadari apa yang memicu dorongan belanja impulsif. Apakah Anda merasa stres? Cemas tentang masa depan? Dengan mengenali pemicunya, Anda bisa lebih mudah mengontrol perilaku tersebut.
2. Buat Anggaran Belanja
Menyusun anggaran yang jelas untuk belanja dapat membantu membatasi pengeluaran yang tidak diperlukan. Cobalah untuk menetapkan batas pengeluaran bulanan dan patuhi anggaran tersebut.
3. Batasi Paparan Media Sosial
Media sosial sering kali menjadi sumber godaan untuk berbelanja. Jika Anda merasa terlalu banyak terpengaruh oleh konten konsumtif, coba batasi waktu penggunaan media sosial atau hindari akun-akun yang kerap mempromosikan barang-barang yang tidak Anda butuhkan.
4. Pertimbangkan Kembali Setiap Pembelian
Sebelum membeli sesuatu, beri waktu beberapa hari untuk mempertimbangkannya. Jika setelah beberapa hari Anda masih merasa butuh barang tersebut, barulah lakukan pembelian. Teknik ini dapat membantu menghindari belanja impulsif.
5. Fokus pada Experience, Bukan Barang
Alih-alih menghabiskan uang untuk barang-barang material, fokuskan pengeluaran Anda pada pengalaman yang lebih bermakna, seperti liburan atau kegiatan sosial bersama teman dan keluarga. Pengalaman cenderung memberikan kebahagiaan yang lebih tahan lama dibandingkan dengan barang.
Kesimpulan tentang Doom Spending
Doom spending merupakan fenomena yang tidak bisa diabaikan, terutama di kalangan Gen Z yang hidup di era digital dengan segala kemudahannya. Kebiasaan belanja impulsif ini bisa berdampak buruk pada kondisi finansial dan kesehatan mental jika tidak dikendalikan.
Dengan mengenali pemicu, membuat anggaran, serta membatasi pengaruh eksternal, Gen Z bisa mengatasi doom spending dan menjaga kestabilan finansial mereka di masa depan.
Baca Juga: 10 Cara Dapat Uang dari Internet dengan Mudah
Dan untuk Anda yang ingin mendapatkan update terpercaya seputar News, Movie, Education, Otomotif, Electronic, Interior, Lifestyle, Finance, Beauty, Internet, Travel, Health dan Food, Anda dapat terus pantau toprankmedia.id. Disini, kami selalu menghadirkan informasi terkini dan terpercaya yang pastinya bermanfaat bagi Anda. Jangan lewatkan konten menarik lainnya hanya di toprankmedia.id!
Share this:
- Click to share on Facebook (Opens in new window) Facebook
- Click to share on X (Opens in new window) X
- Click to share on Telegram (Opens in new window) Telegram
- Click to share on WhatsApp (Opens in new window) WhatsApp
- Click to print (Opens in new window) Print
- Click to share on X (Opens in new window) X