“Pengepungan di Bukit Duri” adalah sebuah karya sinema laga-thriller Indonesia yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Joko Anwar, resmi dirilis pada 2025. Film ini sejak awal sudah menggugah perhatian publik karena bukan hanya menghadirkan ketegangan penuh aksi, tetapi juga mengangkat isu sosial yang relevan: kekerasan, ketidakadilan, hingga ketimpangan pendidikan.
Daftar Isi
Latar Belakang Cerita Film Pengepungan di Bukit Duri
Berlatar tahun 2027, penonton diajak menyelami kisah Edwin (diperankan Morgan Oey), seorang guru pengganti yang mendapat tugas mengajar di SMA Duri— sekolah yang reputasinya suram, dipenuhi murid bermasalah, brutal, dan dianggap “buangan.” Di balik tugas barunya, Edwin menyimpan misi pribadi: mencari keponakannya yang hilang setelah jejaknya lenyap di beberapa sekolah lain.
SMA Duri divisualisasikan seperti “neraka kecil,” tempat guru tak berdaya menghadapi kekerasan yang mengakar di antara siswa.
Ketika kerusuhan sosial meletus di kota, sekolah ini seakan berubah menjadi arena pertempuran nyata: siswa melawan guru, dendam menyalakan api, dan nyawa jadi taruhan.
Dari sinilah Joko Anwar menyulap ruang kelas menjadi medan survival penuh darah, adrenalin, dan ketegangan psikologis.
Film Pengepungan di Bukit Duri Bukan Sekedar Tontonan Biasa
Namun, film ini bukan sekadar tontonan laga. Ia sekaligus menyodorkan kritik sosial: bagaimana diskriminasi, korupsi orang tua, dan sistem pendidikan yang timpang bisa melahirkan generasi muda yang terjebak dalam lingkaran kekerasan.
Tidak heran jika usai penayangannya, “Pengepungan di Bukit Duri” meraup lebih dari 1,8 juta penonton, menjadikannya film aksi Indonesia terlaris 2025. Antusiasme itu berlanjut ketika film ini tayang global di Prime Video pada 15 Agustus 2025, hasil kolaborasi Come and See Pictures dengan Amazon MGM Studios—sebuah pencapaian penting bagi perfilman Indonesia.
Kembalinya Joko Anwar ke genre thriller-aksi non-horor terasa segar. Didukung penampilan Morgan Oey, Omara Esteghlal, hingga Hana Malasan, film ini menghadirkan nuansa baru: Jakarta ala Gotham City yang muram, kelam, tapi realistis.
Penonton bahkan membandingkannya dengan atmosfer film “Joker.” Selain itu, keberanian Joko tidak menjejali film dengan aktor yang “itu-itu saja” memberi warna segar; banyak wajah baru yang membuat film ini terasa lebih orisinal.
Baca Juga: Film Tinggal Meninggal Tayang di Bioskop Mulai 14 Agustus 2025, Debut Sutradara Kristo Immanuel
Cuplikan Review Pengepungan di Bukit Duri
Sayangnya, di balik segala pujian, film ini juga menyisakan catatan kritis. Harapan banyak orang untuk melihat film yang membawa pesan positif tentang dunia pendidikan tidak sepenuhnya terpenuhi.
Alih-alih membangun narasi konstruktif, film justru memperlihatkan pelajar yang membantai, berbicara kasar, hingga mati sia-sia. Karakter Edwin yang seolah disiapkan sebagai sosok penyelamat pun justru stagnan, lebih banyak berkutat dengan rasa takutnya daripada menunjukkan transformasi heroik. Bahkan beberapa adegan, seperti kebiasaannya minum di bar, menimbulkan dilema: apakah pantas seorang guru digambarkan dengan cara demikian?
Ritme film memang intens, bahkan terlalu padat hingga membuat penonton kelelahan. Nuansa horor—meski ini film aksi—tetap terasa, mungkin karena ciri khas Joko Anwar yang terbawa. Adegan gore dan kekerasan tanpa jeda terkadang memaksa penonton menutup mata, bukan karena bosan, tapi karena terlalu brutal.
Seperti yang dilansir melalui laman ainisarahnurul.medium.com, plot twist yang seharusnya menjadi kejutan pun bisa ditebak sejak pertengahan cerita, sehingga klimaksnya kehilangan daya ledak. Ditambah dengan akhir open ending ala film Gotham, penonton dibuat menggantung. Bagi sebagian orang, penyelesaian seperti ini memberi ruang tafsir, tapi bagi lainnya justru menimbulkan rasa kecewa.
Kritik lain datang dari isu konteks sejarah. Dengan latar waktu yang meminjam nuansa kerusuhan 1998 tapi diubah menjadi fiksi 2027, ada risiko salah tafsir bagi penonton awam. Karena itu, perlu kecermatan penonton untuk memisahkan fakta sejarah dari fiksi sinematik.
Meski begitu, keberanian Joko Anwar patut diacungi jempol. Ia menabrak pakem film Indonesia yang sering terjebak dalam zona aman. Ia menyuntikkan ide orisinal, menghadirkan atmosfer baru, dan membuka ruang diskusi tentang masalah sosial. Walau tidak sempurna, “Pengepungan di Bukit Duri” tetaplah sebuah langkah penting bagi perfilman Indonesia, membuktikan bahwa film lokal bisa tampil segarang film Hollywood tanpa kehilangan identitasnya.
Baca Juga: Kontroversi Film Merah Putih: One For All, dari Trailer hingga Sosok Produsernya
Pengepungan di Bukit Duri yang Kurang Tepat Saat Naik Layar
Sayangnya, pemutaran yang berbarengan dengan film “Jumbo”—yang justru sarat nilai pendidikan—membuat kontras semakin terasa. Ditambah lagi, banyak anak di bawah umur yang menonton film ini padahal jelas-jelas bukan tontonan untuk mereka. Inilah yang membuat pesan terakhir film terasa ironis: ia bicara tentang remaja bermasalah, tapi justru ditonton oleh remaja dan anak-anak yang seharusnya lebih dilindungi.
Akhir kata, “Pengepungan di Bukit Duri” adalah film yang berani, berbeda, penuh energi, sekaligus melelahkan. Film ini tidak tentang guru, tidak tentang kerusuhan 1998, dan bukan pula horor seperti yang banyak orang duga.
Ia adalah eksperimen segar dalam genre action-thriller Indonesia, sebuah karya orisinal yang bisa membuat kita bangga, meskipun meninggalkan banyak tanda tanya.
Tapi, Apa Alsan Anda Harus Tetap Menonton Film Ini?
Berikut adalah 5 alasan kuat untuk menonton film “Pengepungan di Bukit Duri”:
1. Kekuatan Film Terletak pada Kesempurnaan Awal
Film seperti ini memiliki potensi menjadi karya masterpiece jika berhenti saat penonton merasa puas. Melanjutkan dengan sekuel bisa membuat film kehilangan keajaibannya dan merosot ke dalam kualitas ala “The Walking Dead,” yang melelahkan dan kehilangan daya tarik orisinalnya.
2. Menghindari Ekspektasi yang Tidak Tercapai
Banyak film populer mengalami penurunan kualitas di sekuel seperti “Ayat-Ayat Cinta,” “Ada Apa Dengan Cinta,” atau “Dilan.” Sekuel yang mengecewakan justru membuat penonton enggan mengingat karya tersebut, sehingga menjaga keunikan film pertama adalah strategi yang bijak.
3. Konflik dan Karakter yang Kompleks Tapi Kurang Terkelola
Karakter seperti guru Edwin yang awalnya kuat justru mengalami perkembangan yang lambat dan tidak memuaskan, menciptakan plot yang melelahkan dan tak koheren. Melanjutkan cerita bisa berisiko menambah kebingungan alih-alih memperkuat narasi.
4. Nuansa dan Tema yang Out of the Box Tapi Berpotensi Membingungkan
Film ini menyajikan latar fiksi berlatar sejarah Indonesia dengan sentuhan horor dan thriller yang intens, serta sindiran sosial keras. Sekuel dapat membuat tema ini jadi semakin rumit dan sulit diterima luas tanpa penjelasan yang matang.
5. Nilai Edukasi yang Negatif dan Isu Sosial yang Sensitif
Film menampilkan pelajar sebagai tokoh yang berperilaku sadis dan kasar, yang justru memperburuk citra pendidikan dan generasi muda. Melanjutkan cerita berisiko memperdalam stereotip negatif tanpa ada pesan positif yang jelas, sehingga lebih bijak untuk berhenti pada satu film awal saja.
toprankmedia.id selalu hadir memberikan berita VIRAL, informasi terupdate, dan ulasan terpercaya seputar TOP 10 Brand yang relevan dengan kehidupan Anda. Ikuti selalu update terbaru dari kami, karena kami hadir untuk membuat Anda selalu #UpToDate.